Guru-guru saling beradu argumen (pendapat). Satu dengan lainnya mereka saling mempertahankan pendapatnya. Hal itu membuat kepala sekolah berkerut dahi. Apa yang mereka ributkan?
Peristiwa itu terjadi dalam rapat kenaikan kelas siswa kelas VII dan VIII yang dihadiri seluruh guru dan waki kelas, Kamis (25/6). Pemicu perdebatan adalah anak-anak yang nilainya kurang dari standar masing-masing mata pelajaran dan juga siswa yang dinilai moralnya bermasalah.
Memang jumlahnya kecil, dalam hitungan jari satu tangan, dibandingkan jumlah total siswa kelas tujuh dan delapan. Namun karena ini menyangkut nasib anak didik, wali kelas pun berjuang mati-matian agar seluruh anak didiknya bisa naik kelas. Jika tidak, maka anak itu akan mengalami penderitaan, beban psikologi.
“Kalo ada anak yang nakal, itu tanggung jawab kita sebagai seorang guru. Karena tugas guru itu bukan hanya mengajar, tetapi juga mendidik. Bagaimana caranya agar anak itu bisa menjadi baik. Ini bentuk kasih sayang kita kepada mereka,” tutur Ibu Yeti, guru bahasa Inggris di tengah forum.
Teman kolega lainnya sesama guru Bahasa Inggris, Bapak Agung Mursidi membantah pendapat seniornya. “Bentuk sayang guru itu bukan hanya menaikkan kelas. Anak itu mengulang di kelas yang sama juga bentuk kasih sayang kita kepada mereka. Mengapa? Yah daripada mereka naik namun belum siap kan kasihan,” ujar guru berkacamata ini.
Memang, puncak perdebatan sesama guru ketika untuk memutuskan nasib seorang siswa, apakah naik kelas atau tidak. Wakasek Kesiswaan Bapak Atep Kosasih dan Bapak Akhmad Zaeni melontar usulan agar nama anak tersebut dipertimbangkan untuk naik kelas. Keduanya memiliki alasan dan bukti-bukti yang memberatkan anak tersebut untuk tidak naik kelas.
“Apa jadinya kalo anak itu naik kelas? Nanti akan mempengaruhi temen-teman lainnya di sekolah ini. Usul saya mohon dipertimbangkan lagi kenaikan kelasnya,” tutur Atep dan Zaeni seraya membeberkan kasus-kasus yang menimpa anak tersebut.
Wakasek Humas Bapak Deny Rochman, S.Sos menawarkan jalan tengah untuk permasalah ini. “Apakah kita anak menaikkan anak atau tidak kita harus berani ambil resiko keputusan ini. Sebagai lembaga pendidikan kita harus independen. Namun ada opsi yang bisa menjadi bahan pertimbangan kita; apakah tidak dinaikan atau naik dengan catatan. Artinya jika satu semester ke depan tidak ada perubahan, yang bersangkutan mengundurkan diri.”
Setelah melakukan jajak pendapat sesama guru yang hadir, akhirnya pihak sekolah memutuskan anak tersebut tidak naik kelas atau pindah sekolah. Tentu saja ini keputusan yang berat bagi sekolah, namun demi menyelamatkan ratusan siswa lainnya dan nama baik sekolah. (*)
29 Juni, 2009
RAPAT KENAIKAN, GURU BERDEBAT
di
23.05