Siapa yang tak kenal sekolah ini. Sekolah terluas, termegah dan terbanyak prestasinya. Namun siapa yang menyangka, dalam sejarahnya sekolah SMP Negeri 4 Kota Cirebon pernah mengalami pahit getir kehidupan.
****
Catatan: Yusuf, Alumni Pertama
Tak pernah terbayangkan jika sekolah SMP Negeri 4 Kota Cirebon pada tahun 1978, kini menjadi sekolah favorit rebutan masyarakat. Padahal tahun 40 tahun lalu, bersekolah di tempat ini dilalui dengan kepahitan, kesengsaraan, sulit, dan susah.
Untuk bisa sekolah di SMPN IV saat itu harus dilalui dengan tes masuk. Angka 4 sekolah ini pada masa itu dengan angka IV romawi. Selepas lulus dari SDN Kedawung tahun 1977, aku lalu ikut tes masuk SMPN IV Kota Cirebon di SDN Silih Asih (Asrama Paru-Paru).
Alhamdulillah aku lulus dan diterima. Tapi tak membuat aku jingkrak-jingkrak. Justeru aku bengong karena harus sekolah di SMPN III bertempat di jalan Tuparev. Saat itu saya bersama 250 siswa dibagi menjadi 5 kelas terdiri 1A s/d 1E. Saat itu ali kelas ku (1E) adalah Bapak Thamrin yang baru bertugas dari Bandung.
"Saat itu aku bingung manakala tetanggaku selalu menghina kalau sekolah SMPN IV tak kunjung jelas dimana kah letak sekolah itu?" kenang Yusuf, alumni angkatan pertama SMP 4 yang merasakan pahit manis awal sekolah yang belum memiliki gedung.
Tempat tinggalku di Jalan Dr.Cipto MK No.141 Kota Cirebon. Saat itu baru ada transportasi angkot. Selang 3 bulan kemudian baru ada bis dengan ongkos Rp.25 yang hilir mudik di depan rumah ku di jalan Cipto yang kala itu masih satu jalan.
Dengan uang jajan dari kakakku Rp.50 aku siasati dengan jalan kaki di perempatan lampu merah jabang bayi dengan naik Bis gratis. Mengapa? Setiap siang hari lalu pulangnya menjelang senja naik Bis Asli garasinya di jabang bayi Mukedas jurusan Cirebon - Ciledug.
Karena PP aku nggak pernah ongkos alias gratis. Uang jajan dari kakaku aku gunakan untuk jajan di warungnya Pak Pardi yang sekarang jadi guru Matematika SMPN Kedawung.
Sekolah darurat di awal berdiri, setiap masuk kami mesti piket membersihkan kelas. Karena murid-murid SMPN III tidak pernah bersih-bersih. Pulangnya pun mesti harus piket hingga larut menjelang Magrib itu pun dapet giliran piket 1 minggu sekali.
Kepahitan serta kelelahan mulai terasa manakala saat-saat setiap mata pelajaran berganti murid-murid SMPN IV mesti berpindah-pindah kelas. Karena aturan saat itu guru tetap di kelas, siswa harus pindah ruangan dengan berlari-lari manakala berganti mata pelajaran.
Setelah berganti semester 2, sangat kaget dengan Peraturan Menteri P & K. Tepatnya Akhir 1978 dikagetkan dengan penambahan waktu belajar dari 1 tahun menjadi penambahan 1 semester dengan adanya Raport bayangan (HumaSpenpat)